Lailatul Qodr : sebuah renungan

LAILATUL QODAR
Renungan

Malam diturunkannya Al qurn. ‚
Sesungguhnya Kami turunkan Quran di malam lailatul qodar. Malam yang kadarnya lebih baik dari 1000 bulan. Malaikat dan ar Ruh turun di malam itu menyelesaikan perkara (mns) atas ijin Allah (yang dikehendakiNya). Artinya, masalah2 akan diselesaikan oleh Allah melalui malaikatnya. Bisa berupa hidayah pencerahan atau jalan keluar lain.
Malam lailatul qodr saat Quran diturunkan ini akan berulang di akhir bulan Ramadhan. Pelaku puasa akan bisa mendapatkannya.
Maka itu tentu ada syarat atau kondisi awal bagi si puasa itu utk bisa menerimanya, tentunya bukan sembarang pelaku puasa. Tentunya lagi mendekati kualitas ruhaniah Rasul saat menerima wahyu itu. Artinya manusia dimungkinkan menerima atau mendapatkan Lailatul Qodr, memperolah pencerahan, hidayah yg dengannya masalahnya menjadi selesai atau jelas solusinya, dengan syarat2 ruhaniah itu dipenuhi.
Mengingat Ramadhan adalah bulan istimewa, dimana pahala dipilmpahkan yng artinya peningkatan ruhani itu dimudahkan dibukakan jalannnya, maka pribadi penerima harus secara sengaja menggapainya bukan saja sejak awal puasa, tetapi lebih-lebih mungkin saja sejak lama setahun itu atau bertahun sebelumnya mmg berusaha memperbaiki diri terus menerus menggemblengnya berjihad nafsi menundukkan diri buat bisa pasrah tawakkal serah sepenuhnya pada Allah. Romadhan menjadi puncak perjuangannya yang artinya dimungkinkan pada saat itu ia mencapai puncak ruhaninya buat menerima hidayah menerima lailatul qodr.
Maka mereka yang puasanya asal kiranya tidak akan mendapatkan lailatul qodr/pencerahan ruhani, kecuali Allah menghendaki memberikan hidayah yang memang menjadi rahasia artinya siapapun bisa allah kehendaki menerima.
Maka lagi, kalau dicrikan malam itu langit bersih, tiada angin, semua tenang seperti diam, tiada gejolak alam, itu lebih bersifat ruhaniah – subyektifitas penerima, ia rasakan ketenangan itu hingga melihat atau merasakan kingkungannya di luarnya ia rasakan begitu damai—bukan secara fisik melihat tanda2 ketenangan alam itu.
Naiflah sesorang yg puasanya biasa saja mengatakan pada temannya yang juga biasa saja puasanya ‚‘wah sepertinya malam ini lailatul qodar turun. Lihatlah langitnya begitu terang, udara tenang, tak ada mendung dsb. Ayo jgan tidur kita kudu terjaga hingga pagi utk menyambutnya‘.
Naif pula kalau kemudia secara fisik mereka mengatakan melihat sinar putih misalnya melesat dari langit jatuh ke tempat tertentu atau ke tempat dia berada semalam lalu merasa mendapatkan lailatul qodr.
Kesimpulan:
Lailatul qoddar utk menerimanya perlu disiapkan kualitas penghambaan sepanjang waktu lama lebih2 di bulan ramadhan.
Ia tidak dirasa secara fisik, tetapi lebih secara spiritual ruhaniah hingga meleihat atau merasakan alam sebagai tenang, damai, dsb yang boleh jadi tentu saja orang lain tidak sama merasakannya.

Agustus 2012.