SARUNG

Suatu pagi di bulan Juni 1980.

Kyai kharismatik, Mursyid Naqsyabandi yang sangat disegani se-Nusantara itu tenang bersandar di bingkai jendela masjid. Kyai Muslih Abdurrahman melanjutkan wirid Subuhnya. Seperti biasa Kyai memilih jendela tengah yang menghadap ke utara ke arah halaman pesantren. Gothakan (kamar) Ikatan Santri Purwodadi berada di kanan beliau, membujur ke utara dari teras masjid, berjajar dengan kamar Pekalongan dan Tegal. Batas utara halaman luas itu adalah warung nDalem yang tiap pagi berjualan nasi bungkus dengan lauk mie kuning dan tempe. Sebelum berangkat sekolah kami biasa sarapan di situ dengan tambahan lauk kerupuk dan kecap. Di jendela masjid bergaya Persia itu saya mengira beliau berzikir. Mungkin saya tidak salah, tetapi pun juga tidak tepat. Kejadian berikut membuktikannya.

Saya santri baru, tamatan SD kampung di Purwodadi sana beberapa bulan dari hari itu, yang tengah belajar hidup mandiri di pesantren, terpisah dari orang tua dan saudara. Tentu saja saya belum genah mengatur keperluan sehari-hari, seperti mencuci, menjemur, dan menyimpannya.

Pagi itu saya berjalan dari masjid ke gothakan (kamar) seusai wirid panjang yang bagi anak seusiaku menjemukan. Menyusuri sayap utara masjid menuju arah kamar, kulihat Kyai di jendela menghadap ke luar. Meski berjalan di belakang beliau, tetap kurendahkan tubuh sembari berjingkat. Ada perasaan takut, hormat, dan segan bahkan sebelum melewati tempat beliau berdiri. Karisma, Karomah, atau –bagi orang pintar yang suka merasionalkan apa pun– ilusi saya tentang kebesaran seorang Kyai Muslih menghadang dan memaksa saya berhenti. Tetapi saya tetap berjalan meski berat seperti di tengah pusaran Tornado. Bau harum parfum Kyai menebar aroma mistik. Mungkin surga berbau seperti ini, pikirku.

Setelah berjuang meliwati belakang Kyai, sampailah saya di kamar. Lega rasanya. Saya bersama teman-teman, seperti biasa, kemudian belajar pagi dan bersiap ke sekolah.

Tiba-tiba….

“Kae sarunge sopo kae he..Sarunge sopo he”.

Suara pelan, sangat rendah, tetapi membuat bumi berhenti berputar. Itu suara Kyai Muslih. Gaduh santri yang mengaji sorogan [setoran terjemahan kitab di depan guru) di masjid, lengking bacaan Al-Quran di kamar, dan hiruk pikuk pagi menjelang sekolah lenyap seketika. Hening senyap menyelimuti Futuhiyaah.

Dibawa angin dari mulut ke mulut, suara Kyai menyebar ke segenap penjuru pesantren. Dari teras masjid, ke gothakan, warung pondok, warung Mbah Toha, toko kitab Ijo, hingga kamar mandi dan wc.

“Sarunge sopo… Sarunge sopo… Sarunge sopooo..”

Kesenyapan lambat laun berubah keriuhan, dan sedikit tegang lantaran takut Kyai geram. Kyai ngendikan saja sudah seperti ini apalagi Nabi bersabda, pikirku.

Kekalutan juga melanda gothakanku.

“Sarunge sopo e kae. Ngawur tenan. Wah jelas sing duwe didukani Kyai kae ngko!”

“Ana apa si?”, bisik teman ke teman.

“Kae lo, ana sarung pirang-pirang dina diguwak nok pemean. Yai takon weke sopo”

Saya menengok ke arah jemuran. Tiang-tiang kayu –yang tak lagi tegak lantaran digayuti ratusan pakaian setiap hari– dibentang tali plastik dan kawat di sana-sini, memanjang dari timur ke barat nyaris memenuhi separo halaman pesantren. Jendela Persia tempat Kyai berdiri berada tepat di selatan jemuran, memungkinkan beliau leluasa mengamati.

Di antara deretan baju yang dijemur rapi, terlihat beberapa pakaian menumpuk di tiang jemuran. Sebagian lagi terserak di tanah. Pakaian-pakaian ini bukan dijemur, melainkan dibuang pemiliknya. Berkali-kali pengurus ingatkan untuk tidak membuangnya di jemuran, selain kotor, tidak rapi, juga memang bukan tempat membuang barang.

“Sarunge sing endi to?”

“Kae, kae lho sing kotak-kotak ijo”

Semua yang di kamar melongok keluar jendela, termasuk saya. Di ujung tiang jemuran yang menjulang, berjurai sarung hijau kotak-kotak. Sarung berbahan polister dengan warna hijau ngejreng. Warnanya yang mencolok membuatnya mudah diamati. Sarung itu memang sudah berhari-hari bercokol di sana.

Saya sangat mengenalnya. Karena itu sarungku!

“Ya Allah!”, pekikku.

Semua mata serentak memandangi  saya. Kalau bisa bercermin, tentu akan saya dapati wajah pucat pasi oleh campuran kaget dan takut. Tatapan merajam 15 pasang mata mereka membuat kamar kami yang sempit menjadi mengecil. Sesak dan amat pengap.

“Ayo, ayo kana nemoni Yai kae. Ndang kana. Nak gak ngaku, konangan diboyong lo kowe ngko”

Boyong? Dipulangkan oleh Kyai dari pesantren adalah petaka terbesar santri yang konon selalu diikuti derita dan sengsara sepanjang hidup.

Lenyap tulang tulangku membayangkan didukani  Kyai.

Dengan lemas dan gontai saya keluar kamar menuju tempat Kyai berdiri di jendela Masjid. Teman-teman kamar membuntuti sampai teras, penasaran ingin tahu apa yang akan menimpaku. Sementara itu kepala-kepala menyembul dari kamar-kamar sebelah, diikuti sebelah dan sebelahnya lagi, hingga akhirnya semua gothakan di Futuhiyyah.

Saya berjalan seperti pesakitan menuju tiang gantungan. Terus menunduk dan tidak menyentuh bumi. Takutnya luar biasa. Beruntung air mata saya tidak tumpah.

“Sarungmu?” suara Kyai Muslih yang lembut menjadi halilintar di kepala saya.

Saya mengangguk. Tak bisa lebih.

“Iku isih apik. Ojo dibuang. Diopeni sing apik…”

Kyai kemudian menasihati saya tentang mubazir, tentang berhati-berhati, dan tentang amanah menjaga harta benda titipan Gusti Allah.

Meski tidak terlalu paham nasihat beliau, hati saya mak nyeess, seperti terguyur oase di sahara gersang Afrika. Suara Yai sejuk sekali. Lenyap ketakutan saya, kaki mulai tenang dan degup dada berangsur teratur.

”Dijupuk kana..”

“Njih, Kyai”.

Kali ini saya menjawab. Dengan tetap tidak berani menatap mata Kyai, saya condongkan badan ke depan, kuraih tangan Beliau, kucium lembut. Bau minyak wangi menyergap kesadaran.

Saya merasa masuk surga…

___

Leipzig,
musim dingin 2011.