Trem

Pagi buta berkabut. Dingin membeku. Kapas putih berjatuhan menjadi air di dahan dan jalan. Yang lain hinggap di kali, danau, dan jendela rumah mungil yang cerobongnya mengepul. Sekawanan gagak bertengger di pucuk pohon yang meranggas sejak musim gugur. Bertahun-tahun mereka protes, namun salju tetap saja turun. Leipzig memutih.

Kami menutup pintu apartemen, berurutan melintasi halaman, menrjang salju setinggi lutut, berjaket tebal berpenutup kepala, bunder-bunder seperti segerombolan Eskimo. Angin sepoi yang biasanya semilir di tanah air, berubah jadi pisau dan jarum es, merayapi jaket, menerobos baju berangkap-rangkap, menyentuh kulit, mengiris daging dan tulang, lalu keluar sama perih seperti masuknya. Saya meringis menikmati nyeri suhu -25 c.

Kami hendak sholat Iedul Adha di Rocherstrasse 33. Seorang Imam Arab membeli tanah cukup luas di tengah kota, sebelah timur Hauptbahnhof (stasiun utama KA), dan membangun masjid di tengahnya. Belakangan orang baik tersebut menambah luas tanahnya hinga terbeli apartemen di situ.

Halte Moritz Hof yang kami tuju 700m dari rumah. Arloji menunjuk pukul 7.30. Siang untuk Jogja, tapi di sini benar-benar pagi. Hanya terpaut satu setengah jam dari Subuh. Kami harus memacu langkah.

***

Sesampai halte yang masih lengang kami bergegas ke mesin tiket. Tertatih-tatih menekan tombol kotak digital sebesar kopor, yang berbahasa Jerman-Inggris terkesan rumit dan canggih. Kata teman awalnya sulit dan akan mudah selanjutnya. Tapi ini sudah tidak awal kok masih juga berlanjut-lanjut sulitnya. Mungkin karena usia, pikirku. Maksudku sistem ticketingnya yang sudah tua. Bukan usia saya.

Karena nylimur sola usia itu, lha dalaah..mesin tiket rusak! Tiap dimasuki uang kertas, muntah. Trem hampir datang, waktu sholat makin memburu, jaraknya jauh lagi. Panik. Tenang, tenang, tarik nafaas.

Eureka! Bisa beli di dalam ke masinis. Kemaren pernah, meski salah dan kemahalan. Kali ini tidak boleh lagi.

Trem pun datang. Ini kereta ajaib. Kendaraan utama kota Jerman. Relnya melintas bersilang sengkurat di jalan raya, menyatu dengan mobil, bis, sepeda, truk, seolah ruwet tidak teratur membuat trem-trem nyaris bertabrakan tetapi tidak. Trem2 itu –ha ini hebatnya– juga selalu tepat waktu. Itu terlihat dari papan digital petunjuk kedatangan dan kebrangkatan di tiap halte.

Trem ini nyaman dan hangat. Jalannya tidak cepat pun bukan lambat. Meski begitu kita tidak boleh asal keluar ketika dekat tujuan kita. Selain pintunya hanya terbuka di halte, juga akan terlihat ganjil, tidak senonoh, dan mempertaruhkan nama bangsa. Sebaiknya kita memang naik-turun di halte.

Di dalamnya ada monitor gantung dan digital-dinding yang menunjukkan kita sampai mana. Mirip kereta Pramex (Prambanan Express). Bedanya tulisan tidak dipilox, tapi digital yang berganti sendiri sesuai halte. Bersih dan Harum. Kelemahannya senyap seperti perpustakaan Abad Tengah, karena penumpang membisu, tak bernyawa. Pemandangan khas manusia negeri modern yang ironisnya, bangsaku sedang habis-habisan menirunya.

”Pak beli tiket”, saya ketuk kaca masinis sambil berbisik.
Masinis bekerja di dalam box. Sendirian. Seharian. Kesepian. Kasihan.

”Paak, veli cikkeetszz”. Kali dengan mendesis.

”Ich jf hks hf jk;lskf gsg sfshfklj jlksjdfks hkhf skh!! Hkh!!”.  Bahasa Jermannya terdengar begitu. Wangsitku menerjemahkan ’jangan berisik ! Menggangu saja! Beli di belakang sana!’

Danke (terima kasih). Entschuldigung (maaf)”, kataku.
Permintaan maaf yang keluar dari segenap rasa salah, diucapkan dengan mebungkuk siap dihukum ini menghasilkan wajah nano-nano: ada ramah, khawatir, bersikeras PD, dan sekaligus iba. Melas.
Untunglah masinis tidak melihat kekacauan saya Dia menutup kaca. Masuk box lagi. Menyopir lagi. Sendirian lagi. Melanjutkan hukuman.

Benar juga. Di belakang sana ada kotak tiket. Kami menuju mesin itu, terseok heboh melintasi para penumpang yang keheranan.

”Iki rombongan aliens ndi maneeh..”, tanya mereka dalam hati.
”Yo ben, yo ben”, jawab saya dalam hati.

Segerombolan Eskimo kembali merubung kotak. Pencet sana sini tidak kunjung bisa. Agak lama sampai si bungsu bilang ’lha ini tidak ada yang untuk memasukkan uang kok, Paak!!’.

Astagfirullah! Ternyata kotak geldkarte, semacam ATM yang tentu saja kami yang baru tiba belum punya.

Kalau sampai kedapatan petugas (semacam kondektur berpakaian sipil yg naik tiba-tiba dari sembarang halte) bisa panjang urusannya. Saya teringat teman dari pabrik susu SGM yang hanya lupa menjeglek karcisnya, didenda 40 euro. Itu setara enam-ratus-ribu ru-pi-aaaaah…Lha ini berlima, tak berkarcis lagi. Duh Gusti, piye ikii..

***

Kami berdiri rapat berhimpitan. Tegang. Mata memandang nanar kemana-mana. Tidak fokus. Mencari jangan-jangan di antara penumpang menyeruak kontroler, menghambur ke kami dan berteriak ’ihr karte!’ (mana kartumu, hayoo!). Tentu aku hampir pingsan. Lalu dengan berpeluhdan seluruh tubuh bergetar kujelaskan dengan bahasa Tarzan, bahwa kami orang baik, meski sedikit uang tapi berniat membeli karcis, tapi mesin di halte mati pak, terus masuk trem mau beli sama sopir malah dimarahi, terus ke box ini, e ternyata tidak bisa dengan uang… Betapa sulit menyampaikan itu semua dengan isyarat. Lagi pula tidak akan diterima karena alasannya kuno dan wagu.

”Maaf Sir, maaf. Kami orang jauh Siir, dari benua lain, baru tiba kemarin lusa..”

”Dari mana?”

Duh. Martabat bangsa.

”Dari mana!!”

Mikir. Ayo mikir, mikiir.

”Ind..Ind…Indmenyuflavesiatralala..”

”O Malaysia”

”Yes!”. Alhamdlillaah slamet.

“Kamu Romli, ya”

“Wie bitte?”

“Kamu ROMLI!”

“Bukaan” Sok tahu.

“Romli. Rombongan liar!”

Grek! Trem berhenti. Lampu merah. Bayangan interogasi menguap, hilang, tidak ada apa-apa. Trem senyap. Orang-orang yang mengira kami dari planet lain tadi juga membisu, sebagian membuang pandangan ke luar. Tak ada yang memperhatikan. Alhamdulillaah. Legaa.

Tapi hanya sebentar.

Pelan namun pasti bayangan petugas kembali muncul. Dan adegan yang kulamunkan tadi bisa benar-benar terjadi.

Ya Allah, tolonglah. Kami terjebak tanpa karcis.