Potret

Sore menjelang musim semi  ini cukup nyaman. Orang-orang biasanya akan  keluar rumah. Lebih-lebih setelah mereka terkurung musim dingin selama hampir empat bulan.

Bersama teman dan anak saya, kami ke luar menikmati senja. Sementara mereke jogging, saya duduk di kursi taman pinggir jalan setapak, menghadap pohon besar yang daunnya rontok. Beberapa orang nampak di seberang jalan, di taman yang sama. Pucuk pohon dengan latar belakang matahari sore dan langit jingga, seperti nenek sihir yang sudah insyaf. Elok dan anggun. Sayang diliwatkan. Saya keluarkan HP berkamera, lalu jepret-jepret sana-sini.

HP sudah hampir saya masukkan saku, ketika melintas dua balita bersepeda. Tersenyum. Yang kecil bahkan sempat berhenti seperti hendak menyapa. Pemandangan khas anak kecil di sini, yang saya rasakan ramah. Tertarik oleh raut Asia saya yang beda dari bapaknya, atau mungkin kerena kesepian akibat dimandirikan ortu sejak usia belasan hari, atau aku saja yang sebagaimana orang Indonesia murah senyum, yang jelas ekspresi alami dan ’sapaan’ dua anak lucu itu – sperti pemandangan di atas—sayang untuk diliwatkan. Apalagi kamera siap jepret. Mak klik! Sayang telat, hanya dapat punggung.

Saat memasukkan HP, jauh di belakang dua anak itu berjalan sepasang ortu. Saya merasa mereka mengamati. Saya kembali duduk santai memandang ke tengah taman. Berharap tidak terjadi apa-apa.
Dua orang itu hampir liwat, ketika tiba-tiba berhenti dan lelakinya bertanya:

“Haben Sie Kinder fotografiert?”

“Maaf, saya tidak berbahasa Jerman. Silakan dalam bahasa Inggris atau bahasa Arab“.

Saya jawab dengan bahasa Jerman patah-patah dan sengaja kutekankan tidak jelasnya supaya dia putus asa. Orang sini biasanya malas melanjutkan bila lawan bicara tidak bisa berbahasa Jerman. Belum lagi kadang memang tidak semangat berbahasa Ingris. Saat itu saya benar-benar berharap dia sangat malas atau tidak bisa bahasa Inggris, lalu pergi. Selesai perkara. Ternyata tidak begitu.

“Anda tadi memotret anak-anak itu?“ Ini suara perempuannya. Keras, mengandung jengkel. Parahnya, dengan bahasa Inggris sangat fasih. Saya tertegun mencari jawab.

“Anda mendengar saya?” Kalimatnya mengingatkan petugas visa Kedubes Jerman di Jakarta. Perempuan tinggi besar berambut merah, tokoh Xena di televisi.

Saya mengangguk tapi susah senyum. Lalu dia ulang lagi pertanyaannya.
“Anda potret anak-anak itu. Mengapa?“ tanyanya.

Mengapa? Ha anak-anak itu liwat, culun, dan ramah menyapa. Seperti pohon dan lapangan, atau pemandangan, mereka ciptaan Tuhan untuk alam seisinya. Lagian saya juga tidak ingin-ingin amat motretnya. Kalau tidak ingin kepotret, ya disimpan saja anaknya. Tentu saya tidak menjawab begitu.

“Saya suka anak-anak”, jawab saya lirih.

“Tapi itu anak saya. Bukan anak Anda”

Yang bilang anak saya itu ya siapa.

“Anda potret untuk apa?”

Untuk apa ya. Seperti motret langit atau itik begitu. Biasa saja, tidak istimewa. Saya faham kemana arah pembicaraan. Ini masalah Privacy. Sesuatu yang tidak begitu penting di negeri saya, dan tidak berkait dengan tinggi rendah peradaban, kecerdasan, atau hal-hal semacam itu. Hanya soal ‘versi’.

Lalu saya katakan,
“Saya salah. Maaf. Saya akan delete fotonya. Lihatlah”
Disaksikan kedua orang tuanya, saya hapus foto anak-anak tadi. Mereka kemudian pergi.

Saya kembali duduk. Kali ini agak gelisah.

Privacy, pikirku. Mereka anggap saya telah mengganggu Privacy, dan karena masih anak-anak, ortu secara naluriah berusaha melindungi. Tetapi mengapa harus mengatakan ’ini bukan anakmu’. Artinya, kamu tidak berhak mengambil kesenangan atasnya.

Sungguhkah saya mengambil kesenangan atasnya? Tidakkah ada penjelasan lain, seperti kepedulian, sapaan karena dia manusia bukan itik atau kancil. Belum lagi, bukankah keberadaan itu berelasi dengan yang lain. Engkau wujud dan hadir di semesta, maka mata dan indra lain serta merta berhak atas keberadaanmu. Eksistensimu menyiratkan relasi yang lain. Naiflah kalau rasa memiliki begitu masifnya mengkoptasi keberadaan.

Bisa jadi sikap mereka bukan lahir dari rasa memiliki, tapi lebih pada rasa khawatir. Mungkin mereka takut keselamatan anaknya terancam. Saya bisa saja motret, lalu merencanakan penculikan, mengiklankan di internet untuk dijual, atau hal buruk lainnya. Atau kalau tidak begitu, mungkin mereka tidak suka karena saya orang asing.
Saya menentramkan diri dengan pikiran lain lubuk lain belalang, lain bangsa lain cara…

Tapi, bagaimanapun saya tetap gelisah. Ketika liwat pasangan muda dengan bayi mungil di keretanya, saya berdiri menghampiri.

“Maaf, bolehkah saya bertanya sesuatu?“
“Silakan” kata mereka ramah.
“Saya barusan memotret anak-anak dan orang tuanya melarang. Mengapa? Demi privacy, keamanan, kesopanan, apa karena saya orang asing?”
“No no, bukan karena orang asing”. Catatan kelam Hitler seringkali membuat orang sini berusaha menebusnya dengan mengajukan keramahan.
“Anda sebaiknya meminta ijin dulu kepada ortunya”
“Untuk apa?” saya ganti bertanya.
“Terlalu banyak yang bisa saya potret, sebanyak saya lihat dan simpan di kepala. Bis kota, trem, tugu, patung Goethe, kastil, menthok, kucing, orang ciuman dekat iklan telanjang, atap bocor, mendung, kabel listrik. Bagitu banyaak. Harus ijin siapa?”

Keduanya tersenyum.

“Kalian yakin sikap itu murni privacy, tanpa sikap lain seperti paranoid?” Sebenarnya saya mengatakan kalian berusaha rasional tapi akhirnya tidak rasional sendiri. ‘Dilema manusia rasional’ kata Max Horkheimer filsof Frankfurt.

“Hmm..Susah menjelaskannya“

“Ok. Itu foto. Sekarang saya tanya soal lain. Kalau membalas sapaan bayi, misal dengan ci-luk-baa. Itu juga harus ijin pemilik?”
“Untuk apa anda lakukan ci-luk-baa itu?” Tanya si ibu.
Iya ya. Mengapa saya katakan ci-luk-ba segala.
Pada saat itu dari dalam kereta bayi anaknya melongok dan tertawa pada saya.
“Naah lihat. Lihat anakmu. Ini kalau saya mau membalas tertawa atau da-daa, perlu menunggu ijinmu?”
Sepontan mereka terpingkal

It is complicated” katanya.

Mereka kemudian berlalu, dan saya kembali duduk.

Matahari senja, langit jingga. Matahari sama yang juga dipunyai langit Indonesia. Tapi manusia yang disinarinya, belahan bumi yang diliwatinya, sungguh tidak sama.

4 thoughts on “Potret”

  1. paranoid paling umum orang tua di eropa adalah kalau ada arang dewasa yang suka pada anak anaknya. dulu ketika kami mau pasang internet dirumah kost, ibu kost berpesan sampai berkali kali “kuharap kalian bijak utk tidak melihat2 situs pedofilia” padahal waktu itu aku belum dong blas opo to pedofilia.
    kalau di indonesia sih anak bayi saja bisa kita titipkan ke tetangga atau kenalan, bahkan kemarin dimedan kalo ndak salah, anak 3 th dijadikan jaminan karena hutang 125jt blm terbayar, akhirnya anak itu mendapat siksaan dan berakhir meninggal. tragis, hanya terjadi di indonesia.

  2. Tragis betul. Soal privacy, org barat trutama jerman yg sy tahu, mmg ketat. Tentu saja tidak mudah kita pahami sbgmn mrk gak faham kelonggaran kita.
    Street view di google earth contoh mutakhirnya, hanya jerman yg ngotot tak boleh ditampilkan kotanya. Demi privacy. Baru minggu lalu deal, itupun hanya utk 10 kota dulu, trmasuk kota Leipzig ini.
    Padahal di alam pikir kita justru senang klo kota, rumah, n jalan kita bs dilihat di google. Dan ini lagi2 bkn soal peradaban maju dan tdk maju. Hanya soal versi, cara pandang.

Leave a reply to Puguh Indrasetiawan Cancel reply