Guru

pak damar

Senin, 17 Februari 2014 Guru kami Prof. Dr. Damarjati Supajar dipanggil Allah untuk menghadap ke haribaa-Nya, setelah mengalami gejala  stroke ringan beberapa bulan sebelumnya. Setelah upacara penghormatan terakhir di Balairung UGM pukul 11 siang tadi, jenazah almarhum diberangkatkan ke Magelang untuk dimakamkan di Losari, Grabag, kampung halamannnya. Seluruh civitas akademika UGM berkabung, juga warga Yogyakarta salah saru aset bangsa, guru, bapak, sahabat, dan inspirator telah pergi. Semoga khusnul khatimah. Amiin.

Tulisan tentang beliau berikut pernah dimuat di KR bberapa tahun silam bertepatan ultah 70 beliau. Selamat mengenangnya.

***

Pertama kali bertemu Pak Damar (Prof.Dr. Damardjati Supadjar) di penataran P4 Mahasiswa Baru September 1986, saya mengira – terutama karena penampilanya yang tegap dan rapi— beliau seorang indo, blasteran. ’Mirip James Bond, ya’, bisik sayaTeman sebelah mengiyakan. Sebelahnya lagi menggambar agen rahasia Inggris bertuliskan Damarjati 007.

Bertahun kemudian keseluruhan diri Pak Damar ternyata lebih mendekati sosok guru atau kyai pesantren, yang karenanya saya cium tangan beliau setiap bersalaman. Selain sikap dan karakternya, nama Damardjati Supadjar juga jauh dari kesan Barat. Penerang yang terang benderang, artinya. “Makanya saya ini cocok jadi Menteri Penerangan’, selorohnya.

September 1987. Usai acara Maulid Nabi di Syuhada, di aula bawah yang pintunya menghadap ke Lembah Code, beliau mendekati saya.

“Dik, bisa mengajari anak-anak main gitar?“

Langsung saya iyakan. Beberapa hari kemudian saya sudah di rumah Jalan Kaliurang, dan siap privat musik setiap Rabu sore. Sungguh saya gembira karena terbuka kesempatan menimba ilmu langsung dari beliau. Ketika beliau bertanya biaya, saya jawab ’bertemu Bapak dari Magrib hingga Isya’. Semula Pak Damar menolak, tapi karena saya ngeyel akhirnya sepakat.

Begitulah mula saya mengenalnya. Bukan dari kuliah ataupun seminar, tetapi dari gitar.

***

Tidak banyak yang tahu kalau Pak Damar seorang ningrat. Keputusan ayahnya menepi ke pedalaman Magelang, jauh dari sentrum kekuasaan Keraton, menghilangkan jejak darah birunya. Satu yang tidak bisa dipungkiri adalah laku dan cara hidup prihatin yang menjadi tradisi kesepuhan Jawa dan para ningrat, kentara pada pribadi dan menyebar di keluarganya. Begitu sederhana, santun, dan rendah hati.

“Keningratan seharusnya tidak berkait dengan sikap feodal“, kata beliau suatu senja di beranda rumah.

“Ningrat bukan merujuk kebangsawanan. Tetapi ning, kasunyatan, hakiki, realitas. Dan rat, jagad, semesta“.

Sebagaimana biasa, saya mengangguk-angguk seperti faham, dan baru agak dong, faham, ngeh setelah di atas sepeda motor menuju pulang. O, ningrat itu kesejatian, dan mengasumsikan semacam laku untuk meraihnya. Maknanya lebih merujuk kualitas ketimbang sejenis strata sosial.

Salah satu ningrat yang sering disebut adalah RM. Panji Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini. “Lulusan Leiden, menguasai 17 bahasa asing, wartawan perang pertama untuk The New York Herald”. Terbayang di benak saya seorang lelaki Jawa memakai blangkon di antara noni-noni Belanda.

Entah karena Sosrokartono dan sebab penting lain, Pak Damar pun ke Leiden. Kedekatannya dengan keluarga, tidak mudah bagi beliau meninggalkan rumah. Namun karena tugas, dengan berat hati akhirnya pergi.

“Bolehkah saya bersurat, Pak?” tanya saya berharap bisa menghibur.

“Tentu saja. Surat dari tanah air adalah buluh perindu yang ditunggu”.

Duapuluh lima tahun lalu facebook, email dan segala kemudahan komunikasi seperti sekarang belum ada. Bisa dibayangkan betapa berartinya surat. Namun hingga beliau kembali ke tanah air, tidak juga satupun surat saya tulis. Saya menyesal dan malu. Keajekan saya mengupdate kabar dari Bu Damar mungkin menjadi sebab merasa tidak perlu menulis surat. Tapi bagaimanapun saya salah.

Sepulang dari Belanda Pak Damar mulai sibuk. Saya masih bisa menemui tapi tidak seleluasa dulu. Cerita beliau tentang Belanda —ditambah para guru, seperti Prof. Koentowibisono, Prof. Soejadi, Prof. Djuretno, dan Rama Anton Baker yang akrab dengan negeri kincir ini—membuat saya terkesan. Salah satunya adalah kisahputrikaca’: pramunikmat semi telanjang dalam etalase kaca di gang-gang kawasan red-line district Amsterdam.

Musim panas tahun lalu sewaktu saya ke Belanda, aquarium Pak Damar itu kembali menari di kepala. Sayangnya –atau untungnya—saya bersama anak istri, sehingga terpaksa selamat.

***

Pak Damar dikenal sebagai pembicara dengan cara penyampaian khas, mendalam, dan kaya humor. Dengan rentang tema agama, filsafat, kebatinan, budaya, hankamnas, perkawinan, hingga problem ABG; Diundang di kampus, kantor, masjid, warga, mahasiswa KKN di desa bahkan di gunung-gunung; Tampil di tivi, koran, dan radio, Pak Damar praktis dikenal luas lintas kalangan. Posternya merajalela dimana-mana.

Suatu ketika saya melihat salah satunya di warung makan BonBin Fakultas Sastra. Ada tambahan kata-kata, dengan warna merah besar-besar: ’di-tang-gung SE-RUU!’, dengan huruf E dicoret ganti A, menjadi SARU.

Perempuan menjadi per-empuk-an, metengi atau menutupi jadi menghamili, trilogikata nginthili, tangan sungkeman ditarik setengah lingkaran ke selakangan berubah bentuk jadi saru, dan sebagainya, menjadi ikon Pak Damar. Tak heran bila sebagian orang menyebut ceramah Pak Damar sarat kesaruan. Uniknya, mereka yang tidak biasa, tidak setuju dan protes gaya dan isi ceramah, akan menderita sendiri.

“Bapak melecehkan perempuan“, seru seorang pembicara wanita, penggiat gender, di seminar ’Kuliah Menjelang Perkawinan’ Jamaah Salahudin UGM pertengahan Mei 1997 di gedung UC UGM. Mbak yang baru pertama mendengar Pak Damar ini meletup-letup menegaskan protesnya. Suasana jadi tegang, terlebih bagi saya moderator. Tetapi bukan Pak Damar kalau tidak menjawab begini:

“Wanita itu, telapak kakinya saja surga. Apalagi tumitnya. Apalagi betisnya. Apalagi…” , tidak dilanjutkan, hanya tangannya diangkat tinggi sambil melirik ke atas. Tawa pun pecah. Mbak aktivis terkulai shock.

Sebenarnya Pak Damar hanya saru di mimbar, tetapi tidak ketika berbincang, apalagi berdua. Umumnya, orang di depan bicara bersih, dan ketika turun saru sesaru-sarunya.

Maka kurang tepat mengatakan ceramah Pak Damar hanya saru dan seru. Mestinya ditambahkan satu lagi: siri. Jadi — meminjam trilogikata beliau– Seru-Saru-Siri. Siri maksudnya ada makna tersembunyi di balik saru-seru yang harus kita tangkap. Caranya dengan mengikuti keliaran pikirannya. Jangan terlena di kelucuan dan sarunya, karena itu hanya busur yang direntangkan, dan anak panahnya harus kita lesatkan sendiri.

Ambil contoh pernyataan beliau.

“Lenturnya tulang punggung ahli tahajud memompa sperma dan memuncratkannya, dst…”, terus diikuti ilustrasi erotis tangan beliau yang mengundang tawa.

Kita boleh berhenti di situ atau melanjutkan keliaran itu sampai, misalnya, bertemu teori Kundalini Yoga dan asanas yang terkait dengan performa sujud. Sujud yang betul menjadikan lima titik tubuh membagi beban secara merata, mempengaruhi vitalitas dan ketahanan. Inilah rahasia meditasi berjam-jam. Itu artinya juga sex tahan-lama, semprotan dan kualitas sperma. Bisa juga keliaran kita bawa ke arah bukan sex, ke kualitas sujud misalnya, atau belantara spiritual lain. Apapun itu melatih kita melepas anak panah pikiran, intuisi, dan imajinasi.

Tidak perlu mematok dengan logika atau aturan ilmiah yang lumrah dan pada umumnya, karena pikiran Pak Damar melampaui itu semua. Lompatan metalogis. Rasional-logis-positivistik tidak terlalu relevan lagi. Akal sekedar pengantar, selebihnya intuisi. Seperti kata Einstein hanya derivasi teorilah yang rasional (karena sifatnya aplikatif-operasional), sedangkan grand-theory sendiri, menyeruak secara intuitif.

Maka itu simpul pencerahan berupa teori atau apapun seringkali nampak lucu dan sedikit ganjil. Archimedes loncat dari bak mandi, tanpa pakaian berteriak eureka! adalah contoh. Begitu pun Pak Damar. Penjelasannya sering tidak terduga, melompat dari simpul ke simpul, dan akhirnya menyisakan pendengarnya dua pilihan: tertawa girang atau kelelahan karena tertib ilmiah yang coba mereka paksakan.

Simaklah ‘temuan’nya tentang udheng dan blangkon.

Udheng (selembar kain penutup kepala biasa dipakai pendekar silat -red) , dikenakan orang tua yang sudah mudheng (mengerti) ukuran kepala, kapasitas dirinya, ilmu hidup”.

Beliau lalu mendemonstrasikan cara memakai udheng. Selembar kain dijepit jari kaki, ujungnya dibentang ke pucuk telinga, ujung satunya dilebarkan ke kiri, dan seterusnya sampai membungkus kepala dengan pas. Sangat metaforis.

“Sedangkan blangkon, dipakai mereka yang belum faham hidupnya, dirinya, ukuran kepalanya. Asal pakai saja, kadang kebesaran kadang kekecilan”.

Hmm..logis, runtut. Namun tiba-tiba,

“Maka itu Udheng dari kata mudheng (faham), dan blangkon dari…blank-on“.

Belum lagi reda riuh tawa, Pak Damar sudah menambahkan “loh, kok jadi Inggris !“

Sekali lagi, kita bebas memilih berhenti pada guyonannya atau melanjutkan pengembaraan.

Pikiran pak damar adalah unity. Semacam paket sinopsis yang bukan mengandalkan urutan logis tapi lebih pada tebaran simpul-simpul. Urutan tidak penting, karena kebenaranya tidak tersusun dari itu. Bebas meloncat ke sana kemari, dari temuan satu ke temuan lain, bahkan ke renungan setengah jadi yang beliau sendiri sedang berproses. Saya menganalogkan dengan Nüße verschiedene Arten, sebungkus snack Jerman yang isinya beragam kacang-kacangan, yang kekhasan citarasanya diperolah tidak dengan cara ambil urut dari almond, kapri, mete, selingan kismis, baru kacang tanah. Tetapi ambil acak, kunyah, biarkan lidah mengirim rasa, nikmati kejutannya, baru menyimpulkan.

“Melihat capung, berhenti pada capung”, katanya dalam sebuah ceramah. “Itulah cara kita melihat. Beda dengan orang Barat. Melihat capung jadilah pesawat capung. Melihat hewan amphibi tercipta tank amphibi”, demikian beliau menginspirasi orang agar berpikir kreatif.

Teman yang terlampau kreatif dan suka bercanda berbisik,

Pak Damar keliru. Kita pun juga penemu seperti Barat. Melihat bebek jadi Honda bebek. Kijang, jadi Toyota Kijang. Kodok, jadi VW Kodok…“

Jika Pak Damar tidak menyebut teori atau pikiran filsuf Barat, Timur, atau Jawa dengan detail dan panjang lebar, sebenarnya bukan karena tidak menguasi. Kesan saya beliau hanya tidak ingin terjebak menghapal pikiran tokoh, mengait-rumitkan, memakai untuk analisis, atau sekedar mendeskripsikan, yang belum tentu berguna untuk kondisi kita. Pak Damar lebih memilih menjumput sedikit untuk bekal, selanjutnya mengembara, mencari dan menemukan sendiri.

Ambilah contoh Serat Wirid Hidayatjati, salah satu masterpeace Ronggiwarsito yang dikenal cukup pelik ajaran mistiknya itu. Bukan hanya mengerti isinya, Pak Damar menyebut secara akurat tahap emanasi yang menjadi keseluruhan isi serat mulai wisikan ananing Dat, Wedharan wahananing Dat, hingga Sasahidan. Bukan itu saja, bahkan per redaksi “sejatinya ora ana apa-apa, awit duk maksih awung-uwung durung ana sawiji-wiji”, dan seterusnya. Namun hampir tidak pernah Pak Damar mendemontarsikan penguasaan serat itu. Beliau memilih membuat simpul, menjalinnya dengan simpul lain, misal dari fanafillah Al Halaj, ma’rifat Imam Ghazali, dan memadukan dengan puisi Rumi dalam Masnawi, melahirkan orkestra pikiran yang unik dan kaya warna.

Tidak jarang kemudia gaya pikir Pak Damar dikesankan sebagai othak athik gathuk, berpikir coba-coba, santai, asal-asalan, dan bejan-bejan. Tidak serius apalagi ilmiah. Orang jarang menyadari bahwa setiap spekulasi filsofis, dinamika ilmu, inovasi teknologi, spiritnya adalah othak athik gathuk itu. Evolusi tabung elektron menjadi transistor, lalu IC, chip, microchip, menyebabkan radio sebesar baskom mengecil sebiji kuaci, bermula dari othak athik gathuk. Munculnya mainstream pemikiran dan ideologi adalah juga buah karya othak athik gathuk. Dalam konteks inilah saya menyebut gaya pikir Pak Damar original dan khas.

Cara pembawaan beliau yang sederhana dan kharismatik, ditambah gaya tuturnya yang memukau, menjadi magnit bagi banyak orang, utamanya kaum muda. Sebagian bahkan mengajukan diri menjadi cantrik dan memohon Pak Damar membaiatnya. Beliau menolak halus dengan mengatakan:

“seorang murid menjadi murid bukanlah karena diangkat guru. Tapi lebih pada kesanggupan menempa diri untuk belajar pada siapapun bahkan apapun. Murid demikian bukan saja akan menjadi pembelajar abadi yang tak kenal lelah, tapi juga terjaga dari mengkultus, karena guru semesta terlalu beragam untuk dikultus”.

————-ö–

Selamat ulang tahun, Guru.

6 thoughts on “Guru”

  1. saat sya kost di Samirono, msh jd ngurus masjid Al Ikhlas pernah undang beliau….kalo nerangin wanita (perempuan), almarhum selalu selingi dengan per_empuk_an…..segala bahasa mmg dibahas secara filsafay……Allohummaghfirlahu Warhamhu

Leave a reply to danang Cancel reply